TUGAS
I.
LOGOTERAPI
1.
Pengertian
Logoterapi
Logoterapi diperkenalkan oleh Viktor
Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater). Logoterapi berasal dari kata “logos” yang dalam bahasa Yunani berarti
makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi adalah
penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai
corak psikologi atau psikiatri yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada
manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna
hidup (the meaning of life) dan
hasrat untuk hidup bermakna (the will of
meaning) merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan
bermakna (the meaningful life) yang
didambakannya.
2.
Konsep
Dasar Logoterapi
Pandangan Frankl tentang kesehatan
psikologis menekankan pentingnya kemauan akan arti. Frankl berpendapat bahwa
manusia harus dapat menemukan makna hidupnya sendiri dan kemudian setelah
menemukan mencoba untuk memenuhinya. Bagi Frankl setiap kehidupan mempunyai
makna dan kehidupan itu adalah suatu tugas yang harus dijalani. Mencari makna
dalam hidup inilah prinsip utama teori Frankl yang dinamakan logoterapi.
Logoterapi memiliki tiga konsep dasar, yaitu:
a.
Kebebasan
Berkehendak ( Freedom Of Will )
Dalam pandangan Logoterapi manusia adalah
mahluk yang istimewa karena mempunyai kebebasan. Kebebasan disini bukanlah
kebebasan yang mutlak, tetapi kebebasan yang bertanggungjawab. Kebebasan
manusia bukanlah kebebasan dari (freedom
from) kondisi-kondisi biologis, psikologis dan sosiokultural tetapi lebih
kepada kebebasan untuk mengambil sikap (freedom
to take a stand) atas kondisi-kondisi tersebut. Kelebihan manusia yang lain
adalah kemampuan untuk mengambil jarak (to
detach) terhadap kondisi di luar dirinya, bahkan manusia juga mempunyai
kemampuan-kemampuan mengambil jarak terhadap dirinya sendiri (self detachment). Kemampuan-kemampuan
inilah yang kemudian membuat manusia disebut sebagai “the self deteming being” yang berarti manusia mempunyai kebebasan
untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting dalam hidupnya.
b.
Kehendak
Hidup Bermakna (The Will to Meaning)
Menurut Frankl yang paling dicari dan
diinginkan manusia dalam hidupnya adalah makna, yaitu makna yang didapat dari
pengalaman hidupnya baik dalam keadaan senang ataupun dalam penderitaan.
Kehendak akan arti kehidupan maksudnya kebutuhan manusia untuk terus mencari
makna hidup untuk eksistensinya. Semakin individu mampu mengatasi dirinya maka
semakin ia mengarah pada suatu tujuan sehingga ia menjadi manusia yang
sepenuhnya. Arti yang dicari tersebut memerlukan tanggung jawab pribadi karena
tidak seorangpun bisa memberikan pengertian dan menemukan maksud dan makna
hidup kita selain diri kita sendiri. Dan itu merupakan tanggung jawab
masing-masing pribadi untuk mencari dan menemukannya. Menurut Frankl keinginan
untuk hidup yang bermakna ini merupakan motivasi utama yang tedapat pada
manusia untuk mencari, menemukan dan memenuhi tujuan dan arti hidupnya.
Mengenal makna itu sendiri menurut Frankl bersifat menarik (to pull) dan menawar (to
offer) bukannya mendorong (to push).
Karena sifatnya menarik itu maka individu termotivasi untuk memenuhinya agar ia
menjadi individu yang bermakna dengan
berbagai kegiatan yang sarat dengan makna.
c.
Makna
Hidup (The Meaning Of Life)
Konsep makna hidup adalah hal-hal yang
memberikan arti khusus bagi seseorang yang apabila berhasil dipenuhi akan
menyebabkan kehidupannya dirasakan berarti dan berharga, sehingga akan
menimbulkan penghayatan bahagia (happiness). Makna hidup tidak dapat diberikan oleh
siapa pun, tetapi harus dicari dan ditemukan sendiri. Orang lain hanya dapat
menunjukkan hal-hal yang potensial bermakna, akan tetapi kembali kepada orang
itu sendiri untuk menentukan apa yang ditanggapinya. Makna yang kita cari memerlukan tanggung jawab pribadi. Bukan
orang lain atau sesuatu yang lain, bukan orang tua, teman, atau bangsa yang
dapat memberi kita pengertian tentang arti dan maksud dalam hidup kita. Makna
hidup bisa berbeda antara manusia satu dengan yang lainya dan berbeda setiap
hari, bahkan setiap jam dan makna hidup itu bersifat unik, spesisfik, personal.
Karena itu, yang penting bukan makna hidup secara umum, melainkan makna khusus
dari hidup seseorang pada suatu saat tertentu. Karena itu, manusia memiliki tugas
yang unik dan kesempatan unik untuk menyelesaikan tugasnya.
3.
Unsur-Unsur
Logoterapi
a.
Munculnya
Masalah Atau Gangguan
Logoterapi ini biasanya dilakukan untuk
klien-klien yang mengalami PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder), karena biasanya orang yang stres akibat trauma
cenderung menyalahkan diri sendiri bahkan bisa ke resiko mencederai diri dan
orang lain. Munculnya masalah atau gangguan adalah saat individu tidak memiliki
keinginan terhadap sesuatu apapun, karena keinginan akan mendorong setiap
manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya di rasakan berarti dan
berharga. Menurut Frankl terdapat tiga tahapan pada sindrom ketidakbermaknaan,
yaitu:
1)
Neurosis Somatogenik, yaitu
gangguan perasaan yang berkaitan dengan ragawi dan berakar pada kondisi
fisiologis tertentu
2)
Neurosis Psikogenik, yaitu gangguan
perasaan yang berasal dari hambatan-hambatan psikis dan bersumber pada
konflik-konflik psikologis.
3)
Neurosis Noogenik, yaitu gangguan
neurosis yang disebabkan tidak terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna
b.
Tujuan
Terapi
Tujuan utama logoterapi adalah meraih hidup
bermakna dan mampu mengatasi secara efektif berbagai kendala dan hambatan
pribadi. Hal ini diperoleh dengan jalan menyadari dan memahami serta
merealisasikan berbagai potensi sumber daya kerohanian yang dimiliki setiap
orang yang sejauh ini mungkin terhambat dan terabaikan. Selain itu, logoterapi juga bertujuan untuk menolong pasien
menemukan tujuan dan maksud dalam hidupnya dengan memperlihatkan bernilainya
tanggung jawab dan tugas-tugas tertentu. Agar dalam masalah yang dihadapi klien
dia bisa menemukan makna dari penderitaan dan kehidupan serta cinta. Dengan
penemuan itu klien akan dapat membantu dirinya sehingga bebas dari masalah
tersebut. Memahami adanya potensi
dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada pada setiap orang terlepas
dari ras, keyakinan, dan agama yang dianutnya. Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan,
terhambat, dan diabaikan, bahkan terlupakan. Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari
penderitaan untuk mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara
sadar mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
c.
Peran
Terapi
Menjaga hubungan yang akrab dan pemisahan
ilmiah. Terapis pertama-tama harus menciptakan hubungan antara klien dengan
mencari keseimbangan antara dua ekstrem, yakni hubungan yang akrab (seperti
simpati) dan pemisahan secara ilmiah (menangani klien sejauh ia melibatkan diri
dalam teknik terapi). Mengendalikan
filsafat pribadi. Maksudnya adalah terapis tidak boleh memindahkan filsafat
pribadi pada klien, karena logotherapy digunakan untuk menangani
masalah-masalah yang menyangkut nilai-nilai dan masalah spiritual, seperti
aspirasi terhadap hidup yang bermakna, makna cinta, makna penderitaan, dan
sebagainya. Memberi makna lagi pada hidup. Salah satu tujuan logotherapy adalah
menemukan tujuan dan maksud keberadaannya. Kepada klien bahwa setiap kehidupan
memiliki potensi-potensi yang unik dan tugas utamanya adalah menemukan
potensi-potensi itu. Pemenuhan tugas ini memberi makna pada kepada hidupnya. Terapis harus menunjukkan kepada klien
bahwa setiap manusia mempunyai tujuan yang unik yang dapat tercapai dengan
suatu cara tertentu. Terapis
berusaha membuat klien menyadari secara penuh tanggung jawab dirinya dan
memberinya kesempatan untuk memilih, untuk apa, kepada apa, atau kepada siapa
dia harus bertanggung jawab. Terapis
tidak tergoda untuk menghakimi klien-kliennya, karena dia tidak pernah
membiarkan seorang klien melemparkan tanggung jawab kepada terapis untuk
menghakiminya. Terapis memberikan sugesti-sugesti terhadap klien, bahwa setiap
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri apa yang dianggap penting
dalam hidupnya.
4.
Teknik-Teknik
Logoterapi
A. Intensi
Paradoksikal
Teknik intensi
paradoksikal merupakan teknik yang dikembangkan Frankl berdasarkan kasus
kecemasan antispatori, yaitu
kecemasan yang ditimbulkan oleh antisipasi individu atas suatu situasi atau
gejala yang ditakutinya. Intensi paradoksikal adalah keinginan terhadap sesuatu
yang ditakuti. Teknik ini pada dasarnya bertujuan lebih daripada perubahan
pola-pola tingkah laku. Klien diminta untuk berpikir atau membayangkan hal-hal
yang tidak menyenangkan, menakutkan, atau memalukan baginya. Dengan cara ini
klien mengembangkan kemampuan untuk melawan ketakutannya, seperti yang terdapat
juga dalam terapi perilaku (behaviour
therapy). Intensi paradoksikal
pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil jarak (self-detachment) dan kemampuan mengambil sikap terhadap kondisi
diri sendiri dan lingkungan. Teknik ini didasarkan pada dua fakta, yaitu (1)
rasa takut bisa menyebabkan terjadinya hal yang ditakutkan (2) keinginan yang
berlebihan bisa membuat keingginan tersebut tidak terlaksana. Dengan teknik intensi paradoksikal, klien diajak untuk
“berhenti melawan”, tetapi bahkan mencoba untuk “bercanda” tentang gejala yang
ada pada mereka, ternyata hasilnya adalah gejala tersebut akan berkurang dan
menghilang.
B. Derefleksi
Seperti halnya intensi paradoksikal, teknik
derefleksi pun memanfaatkan kualitas-kualitas insani dalam gangguan neurosis.
Bedanya, jika intensi paradoksikal memanfaatkan kemampuan mengambil jarak
terhadap diri sendiri dan seakan-akan memandangnya dari luar, maka derefleksi
memanfaatkan kemampuan transedensi diri yang ada dalam diri setiap orang.
Derefleksi yaitu memanfaatkan kemampuan
transendensi diri (self-transcendence)
yang dimiliki setiap manusia dewasa. Frankl percaya bahwa sebagian besar
persoalan kejiwaan berasal dari perhatian yang terlalu fokus pada diri sendiri.
Dengan mengalihkan perhatian dari diri sendiri dan mengarahkannya pada orang
lain, persoalan-persoalan itu akan hilang dengan sendirinya. Dengan teknik
tersebut, klien diberi kemungkinan untuk mengabaikan neurosisnya dan tidak
memperhatikan lagi kondisi yang tidak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan
perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Klien pertama-tama
dibantu untuk menyadari kemampuan atau potensinya yang tidak digunakan atau
terlupakan. Sekali kemampuan tersebut dapat diungkapkan dalam proses konseling
maka akan muncul suatu perasaan unik, berguna dan berharga dari dalam diri
klien.
C. Bimbingan Rohani
Bimbingan rohani adalah metode yang khusus
digunakan terhadap pada penanganan kasus dimana individu berada pada
penderitaan yang tidak dapat terhindarkan, atau dalam suatu keadaan yang tidak
dapat dirubahnya dan tidak mampu lagi berbuat selain menghadapinya. Pada metode
ini, individu didorong untuk merealisasikan nilai bersikap dengan menunjukkan
sikap positif terhadap penderitaanya, dalam rangka menemukan makna di balik
penderitaan tersebut. Pendekatan ini
memanfaatkan kemampuan insani untuk mengambil sikap terhadap keadaan diri
sendiri dan keadaan lingkungan yang tak mungkin diubah lagi. Melalui bimbingan
rohani, individu yang menderita didorong ke arah merealisasi nilai-nilai
bersikap, menunjukkan sikap positif terhadap penderitaannya, sehingga ia bisa
menemukan makna dibalik penderitaannya.
II. Rational
Emotive Therapy
1.
Pengertian
Rational Emotive Therapy
Rasional
Emotive Therapy adalah teori yang berusaha memahami
manusia sebagaimana adanya. Manusia adalah subjek yang sadar akan dirinya dan
sadar akan objek-objek yang dihadapinya. Manusia adalah makhluk berbuat dan
berkembang dan merupakan individu dalam satu kesatuan yang berarti manusia
bebas berpikir, bernafas, dan berkehendak.
Rational emotive therapy dapat
diartikan dengan corak konseling yang menekankan kebersamaan dan interaksi
antara berfikir dengan akal sehat, berperasaan, dan perilaku serta sekaligus
menekankan bahwa suatu suatu perubahan yang mendalam.
2. Konsep Dasar Rational Emotive Therapy
Konsep dasar Rational Emotive Therapy adalah, bahwa seseorang berkonstribusi
terhadap munculnya problem psikologis, baik yang ditunjukkan dalam
gejala-gejala yang spesifik hingga pada interpretasi terhadap suatu peristiwa
atau situasi tertentu. Setiap manusia yang normal memiliki pikiran, perasaan
dan perilaku yang ketiganya berlangsung secara simultan. Konsep dasar yang di
kembangkan Albert Ellis adalah :
a. Pemikiran
manusia adalah penyebab dasar dari gangguan emosional.
b. Manusia
mempunyai potensi pemikiran rasional dan irrasional.
c. Pemikiran
dan emosi tidak dapat di pisahkan.
d. Pada
diri manusia sering terjadi self-verbalization,
yaitu mengatakan sesuatu terus-menerus kepada dirinya.
e. Pemikiran
tak logis (irrasional) dapat dikembalikan kepada pemikiran logis dengan
reorganisasi persepsi. Pemikiran tak logis itu merusak dan merendahkan diri
melalui emosionalnya.
Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya
adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional.
Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan
kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi
tidak efektif.
Reaksi emosional seseorang sebagian besar
disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak
disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut merupakan akibat dari
cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang menyertai
individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.
Berpikir irasional diawali dengan belajar
secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari orang tua dan budaya tempat
dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata yang
digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan
kata-kata yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran
negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional
dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara
verbalisasi yang rasional.
Pandangan pendekatan rasional emotif
tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep kunci teori Albert Ellis :
ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Antecedent event (A), Belief (B),
dan Emotional consequence (C).
Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC, kemudian
ditambahkan D, E dan F untuk mengakomodikasi perubahan tersebut :
a. Antecedent
event
(A)
Yaitu segenap peristiwa luar yang dialami
atau memapar individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah
laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa,
dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
b. Belief
(B)
Yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau
verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua
macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan
yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional
merupakan cara berpikir atau system keyakinan yang tepat, masuk akal,
bijaksana, dan kerana itu menjadi prosuktif. Keyakinan yang tidak rasional
merupakan keyakinan ayau system berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal,
emosional, dan keran itu tidak produktif.
c. Emotional
consequence
(C)
Merupakan konsekuensi emosional sebagai
akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi
dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan
akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variable antara dalam
bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.
d. Disputing
irrational
(D)
Yaitu melakukan perlawanan terhadap
keyakinan irasional.
e. Effective
new philosophy of life
(E)
Yaitu mengembangkan filosofi dan
keyakinan-keyakinan baru yang positif.
f. Perasaan/feelings (F)
Yaitu aksi yang akan dilakukan lebih lanjut
dan perasaan baru, dengan demikian kita tidak akan merasa tertekan, melainkan
kita akan merasakan segala sesuatu sesuai dengan situasi yang ada.
Sebagai contoh, “orang depresi merasa sedih
dan kesepian karena dia keliru berpikir bahwa dirinya tidak pantas dan merasa
tersingkir”. Padahal, penampilan orang depresi sama saja dengan orang yang
tidak mengalami depresi. Jadi, Tugas seorang terapis bukanlah menyerang
perasaan sedih dan kesepian yang dialami orang depresi, melainkan menyerang
keyakinan mereka yang negatif terhadap diri sendiri.
Walaupun tidak terlalu penting bagi seorang
terapis mengetahui titik utama keyakinan-keyakinan irasional tadi, namun dia
harus mengerti bahwa keyakinan tersebut adalah hasil “pengondisian filosofis”,
yaitu kebiasaan-kebiasaan yang muncul secara otomatis, persis seperti kebiasaan
kita yang langsung mengangkat dan menjawab telepon setelah mendengarnya
berdering.
3. Unsur-unsur Rational Emotive Therapy
A. Tujuan Terapi
Rational Emotive Therapy
bertujuan memperbaiki dan mengubah sikap, persepsi, cara berfikir, keyakinan,
serta pandangan klien yang irrasional menjadi rasional, sehingga ia dapat
mengembangkan diri dan mencapai realisasi diri yang optimal. Menghilangkan
gangguan emosional yang dapat merusak diri, seperti rasa takut, bersalah,
berdosa, cemas, marah, atau khawatir, sebagai akibat berfikir yang irrasional,
melatih dan mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara
rasional. Tujuan utama terapi rasional-emotif adalah menunjukkan kepada klien
bahwa verbalisasi diri mereka merupakan sumber gangguan emosionalnya. Kemudian
membantu klien agar memperbaiki cara berpikir, merasa, dan berperilaku,
sehingga ia tidak lagi mengalami gangguan emosional di masa yang akan datang
dengan membantunya mempelajari cara bertindak yang baru. Dan menyadari bahwa
klien dapat hidup rasional dan produktif agar klien tidak memberikan tanggapan emosional
berlebihan tehadap sesuatu peristiwa. Secara umum, rational emotive therapy mendukung konseli untuk menjadi lebih
toleran terhadap diri sendiri, orang lain dan lingkungannya.
B. Fungsi dan Peran Terapi
1) Secara
sistematis berusaha untuk mendapatkan informasi tentang anteseden situasional,
dimensi perilaku masalah, dan konsekuensi dari masalah.
2) klarifikasi
masalah klien bersama dengan klien
3) merencanakan
target perilaku
4) memformulasikan
tujuan terapi
5) mengidentifikasi
kondisi
6) melaksanakan
rencana
7) evaluasi
keberhasilan dari perubahan rencana
8) melakukan
tindak lanjut asesmen.
9) Fungsi
lain yang penting sebagai terapis adalah menjadi role modeling bagi klien. Salah satu proses dasar dimana klien
belajar perilaku baru adalah melalui imitasi. Terapis sebagai pribadi menjadi
model yang signifikan.
Aktivitas-aktivitas terapeutik rational emotive therapy dilaksanakan
dengan satu maksud utama, yaitu membantu klien untuk membebaskan diri dari
gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan-gagasan yang logis sebagai
penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien menginternalisasi suatu
filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi
keyakinan-keyakinan dagmatis yang irasional dan tahayul yang berasal dari
orangtuanya maupun dari kebudayaannya. Oleh karena itu dalam konseling,
konselor membantu klien untuk mengenali insight yang menjadi penyebab perilaku
irasionalnya. REBT membantu klien mendapatkan tiga jenis insight :
1) Insight 1
Klien memahami bahwa perilaku
disfungsionalnya terjadi tidak hanya karena penyebab di masa lalu, tetapi bahwa
penyebab tersebut masih ada dalam pikiran klien sampai saat ini.
2) Insight 2
Klien memahami bahwa apa yang mengganggunya
saat ini karena keyakinan irasional yang terus dipertahankannya.
3) Insight 3
Klien memahami bahwa tidak ada jalan lain
untuk keluar dari hambatan psikologis yang dialaminya dengan cara mengamati,
mendeteksi, dan melawan keyakinannya yang irasional dengan keyakinan yang
rasional.
Setelah klien mendapatkan tiga insight
tersebut, kemudian konselor menunjukkan kepada klien bahwa
verbalisasi-verbalisasi dirinya masih merupakan sumber utama dari
gangguan-gangguan emosional yang dialaminya. Konselor mendorong klien untuk
menguji secara kritis nilai-nilai dirinya yang paling dasar, sehingga memberikannya
"intellectual insight", yaitu pengetahuan bahwa ia bertindak buruk
dan keinginan untuk memperbaiki perilakunya. Apabila proses ini berhasil, klien
akan memperoleh "emotional insight", yaitu tekad untuk bekerja keras
merubah atau reconditions terhadap perilakunya.
4.
Teknik-teknik
Rational Emotive Therapy
Pendekatan konseling rasional emotif
menggunakan berbagai teknik yang bersifat afektif, behavioristik, dan kognitif
yang disesuaikan dengan kondisi klien. Beberapa teknik dimaksud antara lain
adalah sebagai berikut.
A. Teknik Emotif (Afektif)
1)
Teknik
Assertive Training,
Yaitu teknik yang digunakan untuk melatih,
medorong dan membiasakan klien untuk terus menerus menyesuaikan diri dengan
perilaku tertentu yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih
bersifat pendisiplinan diri klien.
2)
Teknik
Sosiodrama,
Digunakan untuk mengekspresikan berbagai
jenis perasaan yang menekan (perasaan negatif) melalui suasana yang
didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapan dirinya sendiri
baik secara lisan, tulisan ataupun melalui gerakan-gerakan dramatis.
3)
Teknik
Self Modeling
atau diri sebagai model,
Yakni teknik yang digunakan untuk meminta
klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan konselor untuk menghilangkan
perasaan atau perilaku tertentu, dimana konselor menjadi model dan klien
berjanji akan mengikuti.
4)
Teknik
Imitasi,
Yakni teknik yang digunakan dimana klien
diminta untuk menirukan secara terus menerus soal model perilaku tertentu
dengan maksud menhadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
B. Teknik Behavioristik
1)
Teknik
reinforcement / penguatan,
Yaitu teknik yang digunakan untuk mendorong
klien kearah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan
pujian verbal (reward) ataupun punishment/ hukuman. Teknik ini
dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai dan keyakinan yang irrasional pada
klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang positif. Dengan memberikan reward ataupun punishment,
maka klien akan menginternalisasikan sistem nilai yang diharapkan kepadanya.
2)
Teknik
social modeling/ penguatan modeling,
Yakni teknik yang digunakan untuk
memberikan perilaku-perilaku baru kepada klien khususnya situasi-situasi
interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan
memecahkan masalah-masalah. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam
suatu model sosial yang diharapkan dengan cara imitasi (meniru), mengobservasi,
dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem
model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan oleh konselor.
3)
Teknik
live models/
model dari kehidupan nyata,
Digunakan untuk menggambarkan perilaku
tertentu.
C. Teknik-Teknik Kognitif
1)
Home
work assigments/ pemberian tugas
rumah ,
Klien diberikan tugas rumah untuk berlatih,
membiasakan diri serta menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menurut
pola perilaku yang diharapkan. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan
mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta
kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi
ketergantungannya kepada konselor.
2)
Teknik
Assertive
,
Teknik yang digunakan untuk melatih
keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku tertentu yang diharapkan melalui
role playing atau bermain peran. Maksud utama teknik asertif adalah : (a)
mendorong kemampuan klien mengekspresikan berbagai hal yang berhubungan dengan
emosinya; (b) membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya
sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain; (c) mendorong klien
untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri; dan (d) meningkatkan
kemampuan untuk memilih tingkah laku-tingkah laku asertif yang cocok untuk diri
sendiri.
3)
Bibliotherapy,
Teknik yang digunakan untuk membalikkan
pola pikir irasional dan ketidaklogisan dalam diri konseli yang menyebabkan
permasalahan lewat buku-buku. Konselor memilih buku-buku bacaan yang sekiranya
dapat membantu konseli dalam mengubah pola pikir irasional menjadi rasional.
III.
Terapi
Kelompok
1.
Pengertian
Terapi Kelompok
Terapi Kelompok adalah suatu metode
pekerjaan sosial dimana kelompok digunakan sebagai media untuk membantu
anggota-anggota dalam kelompok untuk memperbaiki penyesuaian sosial mereka
serta dapat mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat. Maksudnya
ialah individu-individu yang mengalami masalah sejenis disatukan dalam kelompok
penyembuhan dan kemudian dilakukan terapi dengan dibimbing atau didampingi oleh
seorang atau satu tim petugas kesehatan. Anggota kelompok biasanya berkisar
dari 5 sampai 10 anggota. Terapi kelompok dapat berlangsung selama beberapa
minggu, beberapa bulan atau beberapa tahun dan biasanya dilakukan seminggu
sekali. Keunggulan dalam Terapi Kelompok
ialah bahwa anggota kelompok dianggap mewakili suatu lingkungan interpersonal
dengan lebih baik daripada hanya satu orang terapis, sehingga dapat lebih
menjamin perbaikan hubungan interpersonal.
2.
Konsep
Dasar Terapi Kelompok
Kelompok adalah kumpulan individu yang
mempunyai hubungan antara satu dengan yang lainnya, saling ketergantungan serta
mempunyai norma yang sama. Terapi Kelompok
memberi kesempatan untuk saling bertukar (sharing) tujuan, misalnya
membantu individu yang berperilaku destruktif dalam berhubungan dengan orang
lain, mengidentifikasi dan memberikan alternatif untuk membantu merubah
perilaku destruktif menjadi konstruktif. Terapi kelompok memandang bahwa
manusia itu makhluk yang unik, dan dinamis, setiap manusia memiliki
karakteristik yang berbeda. Setiap manusia memiliki problem yang berbeda-beda,
oleh karena itulah setiap orang tidak sama dalam menangani suatu pemecahan
masalah. Anggota kelompok mungkin datang dari berbagai latar belakang yang
harus ditangani sesuai dengan keadaannya seperti agresif, takut kebencian,
kompetitip, kesamaan, ketidaksamaan, kesukaan dan menarik. Semua kondisi ini
akan mempengaruhi dinamika kelompok, tergantung bagaimana anggota kelompok
dapat mengiterpretasikan segala sesuatu yang menstimulus kelompok tersebut.
Dengan sharing pengalaman pada klien dengan isolasi sosial diharapakan klien
mampu membuka dirinya untuk berinteraksi dengan orang lain. Oleh karena itu
perlu diperhatikan mengenai komponen kelompok dalam terapi kelompok, komponen
tersebut antara lain:
a.
Struktur
kelompok
Stuktur kelompok menjelaskan batasan,
komunikasi, proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok.
Struktur kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi. Struktur dalam elompok diatur dengan adanya pimpinan dan anggota, arah
komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
b.
Besar
kelompok
Jumlah ideal anggota kelompok adalah tujuh
sampai delapan orang. Jumlah minimum angota kelompok berkisar empat dan jumlah
maksimun adalah sepuluh orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya
tidak semua anggota kelompok mendapatkan kesempatan mengungkapkan perasaan,
mengemukakan pendapat dan pengalamannya. Jika terlalu kecil makan tidak cukup
variasi informasi dan intreaksi yang terjadi.
c.
Lamanya
sesi
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40
menit untuk fungsi terapi reandah, dan 60-120 menit untuk fungsi kelompok yang
tinggi. Frekuensi pertemuan dapat disesuaian dengan tujuan kelompok, dapat satu
kali atau dua kali per minggu atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan.
d.
Komunikasi
Salah satu tugas pemimpin kelompok yang
terpenting adalah mengobservasi dan mengalisis pola komunikasi dalam kelompok.
Pemimpin menggunakan umpan balik untuk memberikan kesadaran pada anggota
kelompok terhadap dinamika yang trejadi. Pemimpin kelompok dapat mengkaji
hambatan dalam kelompok, konflik interpersonal, tingkat kompetis, dan seberapa
jauh anggota kelompok mengerti serta melaksanakan kegiatan.
e.
Peran
kelompok
Pemimpin (leader) harus memiliki kemammpuan
dalam proses yang terjadi pada kelompok, seperti adanya interupsi, peningkatan
intonasi suara, sikap menghakimi antara anggota kelompok selama interaksi
berlangsung. Dengan kata lian, pemimpin harus peka terhadap adanya konflik yang
mungkin terjadi di dalam kelompok.
f.
Kekuatan
kelompok
Kekeuatan kelompok adalah kemampuan anggota
dalam memmpengaruhi jalannya kegiatan kelompok. Untuk menetapkan kekuatan
kelompok yang bervariasi diperlukan kajian siapa yang paling banyak mendengar
siapa yang membuat keputusan dalam kelompok.
g.
Norma
Norma adalah standar perilaku dalam
kelompok. Pengharapan terhadap perilaku kelompok pada masa yang akan datang
berdasarkan pada pengalaman masa lalu dan saat ini. Pemahaman tentang norma
berguna untuk mngetahui pengaruhnya terhadap komunikasi dan interaksi dalam
kelompok.
h.
Kekohesifan
Kekohesifan adalah kekuatan antar anggota
kelompok bekerjasama dalam mencapai tujuan. Hal ini mempengaruhi naggota
kelompok untuk tertarik dan puas terhadap kelompoknya. Terapis perlu melakuakn
upaya agar kekohesifan kelompok dapat terwujud, selain mengelompokan anggota
yang memiliki masalah yang sama. Terapis juga menciptakan kekohesifan dengan
cara mendorong kelompok untuk berbicara satu sama lain. Kekohesifan dapat
diukur melalui seberapa sering antar anggota memberi pujian dan mengungkapkan
kekaguman satu sama lain.
3.
Unsur-Unsur
Terapi Kelompok
a.
Munculnya
Gangguan
Terapi kelompok digunakan ketika klien
tidak berhasil dalam penanganan secara terapi individu
b. Tujuan Terapi Kelompok
1) Mengembangkan stimulasi kognitif
a) Tipe:
biblioterapy
b) Aktivitas:
menggunakan artikel, sajak, puisi, buku, surat kabar untuk merangsang dan
mengembangkan hubungan dengan orang lain.
2) Mengembangkan stimulasi sensori
a) Tipe:
music, seni, menari.
b) Aktivitas:
menyediakan kegiatan, mengekspresikan perasaan.
a) Tipe:
relaksasi
b) Aktivitas:
belajar teknik relaksasi dengan cara napas dalam, relaksasi otot, dan
imajinasi.
3) Mengembangkan orientasi realitas
a) Tipe:
kelompok orientasi realitas, kelompok validasi.
b) Aktivitas:
focus pada orientasi waktu,tempat dan orang, benar, salah bantu memenuhi
kebutuhan.
4) Mengembangkan sosialisasi
a) Tipe:
kelompok remitivasi
b) Aktivitas:
mengorientasikan klien yang menarik diri, regresi
a) Tipe:
kelompok mengingatkan
b) Aktivitas:
focus pada mengingatkan untuk menetapkan arti positif.
5) Secara umum tujuan terapi kelompok adalah
:
a) Setiap
anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
b) Memberikan
pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
c) Meningkatkan
identitas diri
d) Menyalurkan
emosi dan membagi perasaan antar sesama didalam kelompok terapis
e) Meningkatkan
keterampilan hubungan sosial
f) Meningkatkan
kemampuan hidup mandiri
c. Peran Terapis dalam Terapi Kelompok
1) Mempersiapkan Program Terapi
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas
kelompok, perawat harus terlebih dahulu, membuat proposal. Proposal tersebut
akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok, komponen
yang dapat disusun meliputi : deskripsi, karakteristik klien, masalah
psikologis, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah terapis, waktu
pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.
2) Sebagai Leader Dan Co-Leader
Meliputi tugas menganalisa dan
mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi dalam kelompok, membantu
anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya kelompok, menjadi motivator,
membantu kelompok menetapkan tujuan dan membuat peraturan serta mengarahkan dan
memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok.
3) Sebagai Fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta
dalam kegiatan kelompok sebagai anggota kelompok dengan tujuan memberi stimulus
pada anggota kelompok lain agar dapat mengikuti jalannya kegiatan.
4) Sebagai Observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat
serta mengamati respon penderita, mengamati jalannya proses terapi aktivitas
dan menangani peserta/anggota kelompok yang drop out.
5) Mengatasi Masalah Yang Timbul Saat
Terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah
kemungkinan timbulnya sub kelompok, kurangnya keterbukaan, resistensi baik
individu atau kelompok dan adanya anggota kelompok yang drop out. Cara
mengatasi masalah tersebut tergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak dan
kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut.
6) Program Antisipasi Masalah
Merupakan intervensi psikologis yang
dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang bersifat darurat (emergensi dalam
terapi) yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Dari rangkaian tugas diatas, peranan ahli
terapi utamanya adalah sebagai fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri
adalah sumber primer penyembuhan dan perubahan.
4.
Teknik-Teknik
Terapi Kelompok
1)
Terapi
Kelompok Psikoanalisa
a)
Terdapat 4-5 pria dan 4-5 wanita
dalam satu kelompok.
b)
Pertemuan berlangsung selama 90
menit dan tiga kali per minggu.
c)
Terapi kelompok berguna untuk
membantu klien memperoleh insight, meningkatkan kesadaran emosional terhadap
trauma yang terjadi pada masa kecil.
Teknik-teknik teori psikoanalisa dalam
konseling kelompok dilihat dari sudut kegiatan yang dilakukan. Kelompok
dibedakan atas :
a) Kelompok
aksi (action group) yang dirancang
dengan tugas utama mengerjakan sesuatu.
b) Kelompok
studi (study group) yang dirancang
dengan tugas utama mempelajari seluk-beluk suatu bidang dengan menggunakan
sumber-sumber tertentu.
c) Kelompok
diskusi (discussion group), yang
dirancang dengan tujuan utama membahas bersama suatu masalah yang dihadapi.
2)
Psikodrama
/ Roleplay
a)
Bertujuan untuk memberikan
kesempatan pada klien untuk katarsis, berperilaku spontan, dan saling memahami
antar-anggota.
b)
Ada tahap dimana klien memperagakan
peristiwa hidupnya yang siginifikan dihadapan anggota lainnya.
c)
Ada juga tahap dimana anggota
berperan menjadi klien dan klien menjadi individu yang berpengaruh dalam
hidupnya dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran klien.
d)
Bermain peran lebih efektif untuk
katarsis dan membebaskan klien untuk berkreasi.
3)
Analisis
Transaksional
a)
Fokus pada pemahaman klien daripada
pelepasan emosi klien, untuk memperoleh insight mengenai kesalahan transaksi
yang terjadi.
b)
Diawali dengan kontrak ("Saya
ingin berhenti merasa depresi") untuk membuat rencana terapi dan
evaluasinya (mencari status ego, tipe transaksi/games, naskah hidup).
4)
Terapi
Perilaku Berkelompok
a)
Beberapa orang dengan masalah
perilaku yang sama dapat diterapi bersama.
b)
Terdapat tiga jenis terapi perilaku
berkelompok yaitu systematic desentizitation (terdiri dari klien-klien dengan phobia
yang sama, bersama-sama belajar relaksasi), assertion
training groups (anggota bermain peran melakukan perilaku asertif terhadap
anggota lain, lalu yang lan memberi komentar) dan kontrol yang ditujukan
terhadap perilaku tertentu (seperti makan berlebihan).
5)
T-Group
/ Sensitivity Training Group
a)
Ditujukan untuk individu normal.
b)
Kelompok terdiri dari 10-15
individu.
c)
Bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran diri, meningkatkan kepekaan perasaan, pikiran, dan tujuan terhadap
orang lain, melatih kejujuran dan jadi diri sendiri, belajar memberi dan
menerima umpan balik dan menyelesaikan konflik interpersonal.
d)
Hanya ada trainer yang membantu
menentukan tujuan dan arah kelompok serta membantu anggota belajar dari
pengalaman.
6)
Encounter
Groups
a)
Untuk mengatasi keterasingan
terhadap lingkungan.
b)
Pandangan perasaan bahagia, merasa
diri penuh, bertanggung jawab, punya hubungan dekat dengan orang lain, lebih
jadi diri sendiri, dapat mencapai dan berbagi dengan orang lain adalah esensi
sebagai manusia dan memfasilitasi individu untuk menjadi spontan dan merasakan
keintiman bersama.
c)
Terapis tidak ikut campur dalam
proses terapi. Pada awalnya anggota akan kebingungan, tapi lama kelamaan akan
terjadi interaksi sehingga spontanitas dan keintiman dapat tercapai. Contoh
Marriage Encounte.
IV.
Terapi
Perilaku (behavioral therapy)
1.
Pengertian
Terapi Perilaku (behavioral therapy)
Terapi Perilaku merupakan suatu teknik
terapi yang bertujuan untuk menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial dan membangun perilaku-perilaku baru yang secara sosial
bermanfaat dan dapat diterima dengan cara mengubah perilaku negatif yang dapat
membahayakan pasien serta menangani pikiran dan perasaan yang dapat menyebabkan
perilaku yang membahayakan diri sendiri dengan cara menumbuhkan perilaku baru
berupa komunikasi secara spontan dan kemampuan melakukan interaksi sosial
dengan orang lain. Terapi perilaku biasanya dilakukan oleh seorang Terapis
dengan sistem one on one (satu
Terapis satu Anak) dengan memberikan instruksi-instruksi singkat yang spesifik,
secara jelas dan terus menerus. Terapi ini dapat menangani semua jenis
perilaku, mulai perilaku yang dipelajari sampai perilaku akibat pengaruh dari
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, perilaku yang bermasalah bukanlah sesuatu
yang dimiliki seseorang, melainkan akibat dari pembelajaran, lingkungan, dan
pengaruh dari luar.
2.
Konsep
Dasar Terapi Perilaku (behavioral
therapy)
Terapi perilaku (Behaviour therapy) adalah pendekatan untuk psikoterapi yang
didasari oleh Teori Belajar (learning
theory) yang bertujuan untuk menyembuhkan psikopatologi seperti; depression, anxiety disorders, phobias,
dengan memakai teknik yang didesain menguatkan kembali perilaku yang diinginkan
dan menghilangkan perilaku yang tidak diinginkan. Terapis behavioral membatasi
perilaku sebagai fungsi interaksi antara pembawaan dengan lingkungan. Perilaku
yang dapat diamati merupakan suatu kepedulian utama dari para terapis sebagai
kriteria pengukuran keberhasilan terapi. Pada dasarnya, proses terapi merupakan
suatu penataan proses atau pengalaman belajar untuk membantu individu mengubah
perilakunya agar dapat memecahkan masalahnya. Terdapat beberapa teori dasar
mengenai metode terapi perilaku, yaitu :
a. Perilaku
maladaptif dan kecemasan persisten telah dibiasakan (conditioned) atau dipelajari (learned).
b. Terapi untuk perilaku maladaptif adalah dengan
penghilangan kebiasaan (deconditioning)
atau ditinggalkan (unlearning).
c. Untuk
menguatkan perilaku adalah dengan pembiasaan perilaku (operant and clasical conditioning).
Selama masa perkembangannya sampai saat
ini, terdapat tiga perubahan besar dalam penerapan terapi perilaku, yaitu :
1) Terapi
perilaku yang fokus pada memodifikasi perilaku-perilaku tampak (overt behavior), yakni yang didasarkan
pada prinsip dan prosedur clasical dan operant conditioning. Terdapat dua
pendekatan yang terkenal yakni :
a) Applied Behavior Analysis
(Skinner)
Pada
pendekatan ini asumsi yang digunakan adalah perilaku merupakan fungsi dari
konsekuensi (behavior is a function of
its consequences). Prosedur yang digunakan berupa pemberian reinforcement,
punishment, extinction dan stimulus control.
b) Neobehavioristic Mediational
Stimulus Response (Mowrer & Miller).
Merupakan
aplikasi dari konsep clasical conditioning. Pada pendekatan ini mulai disadari bahwa
proses mental mempunyai pengaruh terhadap hukum belajar yang kemudian membentuk
suatu perilaku. Model pendekatan Stimulus Respon menggunakan proses
mediasional. Teknik-teknik yang digunakan berupa systematic desensitization dan
flooding.
2) Gerakan
ke dua ialah Social-Cognitive theory
Ada
3 faktor yang terpisah namun saling membentuk sistem interaksi satu sama
lainnya, yang berupa lingkungan (external
stimulus event), penguatan (external
reinforcement), dan proses kognitif (cognitive
mediational processes). Social-Cognitive
Theory beranggapan bahwa ketiga elemen terseut saling mempengaruhi satu
sama lain. Oleh karena itu, dalam prosedur treatment yang menjadi fokus adalah
individu itu sendiri sebagai agent of change. Aplikasi dari teori ini adalah Cognitive Behavior Therapy (CBT).
3) Gerakan
ketiga dalam perkembangan terapi perilaku
Menggunakan
konsep penerimaan (acceptance) yg
merupakan proses aktif dari self-affirmation,
menerima bukan berarti menyerah melainkan keberanian untuk mengalami/merasakan
pikiran perasaan negatif.
a)
Dialectical
Behaviora Therapy (DBT)
Terdapat
dua konsep penting dalam penerapan DBT, yakni Acceptance and change dan
Mindfullness.
b)
Acceptance
and Commitment Therapy (ACT).
Sedangkan
dalam Acceptance and Commitment Therapy mengkombinasikan
prinsip-prinsip behaviorisme Skinner dengan faktor bahasa dan kognitif serta
bagaimana ketiga faktor tersebut berpengaruh dalam psikopatologi. Terdapat
empat konsep utama yakni:
v Experiential avoidance
Mengacu
pada proses mencoba untuk menghindari pengalaman pribadi negatif atau
menyedihkan,
v Acceptance
ACT
dirancang untuk membantu klien belajar bahwa menghindari pengalaman adalah
bukan solusi.
v Cognitive Defusion
Konsep
ini mengacu memisahkan pikiran dari orang lain yang dan apa yang kita pikirkan.
v Commitment
ACT
berfokus pada tindakan.
3.
Unsur-Unsur
Terapi Perilaku
1)
Munculnya
gangguan
Terapi perilaku adalah
salah satu teknik yang digunakan dalam menyelesaikan tingkah laku yang
ditimbulkan oleh dorongan dari dalam dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
hidup, yang dilakukan melalui proses belajar agar bisa bertindak dan bertingkah
laku lebih efektif, lalu mampu menanggapi situasi dan masalah dengan cara yang
lebih efektif dan efisien. Aktifitas inilah yang disebut sebagai belajar.
2)
Tujuan
terapi perilaku
Tujuan umum terapi
perilaku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar
alasannya ialah bahwa segenap perilaku adalah dapat dipelajari (learned), termasuk perilaku yang
maladaptif. Jika tingkah laku neurotik
learned, maka ia bisa unlearned
(dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh.
Terapi perilaku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar
yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya
terdapat respons-respons yang layak, namun belum dipelajari. Berkaitan dengan
penjelasan diatas secara sederhana tujuan dari terapi perilaku adalah :
a) Meningkatkan
perilaku, yaitu reinforcement positif (memberi penghargaan terhadap perilaku)
dan reinforcement negatif (mengurangi stimulus aversi)
b) Mengurangi
perilaku, yaitu punishment (memberi stimulus aversi), respons cost
(menghilangkan atau menarik reinforcement), dan extinction (menahan
reinforcerment)
Tujuan terapi perilaku adalah mencapai kehidupan
tanpa mengalami perilaku somatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan
atau hambatan perilaku yang dapat membuat ketidakpuasan dalam jangka panjang,
atau mengalami konflik dengan lingkungan sosial.
3)
Peran
Terapis
a) Memainkan
peran aktif dan direktif dalam pemberian treatment
Yakni terapis
menerapkan pengetahuan ilmiah pada pencarian pemecahan masalah-masalah manusia
pada kliennya. Terapis tingkah laku secara khas berfungsi sebagai guru,
pengarah, dan ahli dalam mendiagnosis tingkah laku yang maladaptif dan dalam
menentukan prosesur-prosedur penyembuhan yang diharapkan, mengarah pada tingkah
laku yang baru dan adjustive
b) Terlibat
dalam pemberian penguatan-penguatan sosial
Terapis harus terlibat
dalam pemberian penguatan-penguatan sosial, baik yang positif maupun yang
negatif. Bahkan meskipun, mempersepsikan dirinya sebagai pihak yang netral
sehubungan dengan pertimbangan-pertimbangan nilai, terapis membentuk tingkah
laku klien, baik melalui cara-cara langsung maupun cara-cara tidak langsung.
c) Penguat
bagi tingkah laku klien
Peran mengendalikan
tingkah laku klien yang dimainkan oleh terapis melalui penguatan menjangkau
situasi di luar konseling serta dimasukan ke dalam tingkah laku klien dalam
dunia nyata: “konselor mengganjar respon-respon tertentu yang dilaporkan telah
ditampilkan oleh klien dalam situasi-situasi kehidupan nyata dan menghukum
respon-respon yang lainnya. Ganjaran-ganjaran itu adalah persetujuan, minat, dan keprihatinan,
perkuatan semacam itu penting terutama pada periode ketika klien mencoba
respon-respon atau tingkah laku baru yang belum secara tetap diberi perkuatan
oleh orang lain dalam kehidupan klien”. Salah satu penyebab munculnya hasil
yang tidak memuaskan adalah bahwa terapis tidak cukup memperkuat tingkah laku
yang baru dikembangkan oleh klien
d) Model
bagi klien
Bandura menunjukan
bahwa sebagian besar proses belajar yang melalui pengalaman langsung juga bisa
diperoleh melalui pengamatan terhadap tingkah laku orang lain. Ia mengungkapkan
bahwa salah satu proses fundamental yang memungkinkan klien bisa mempelajari
tingkah laku baru adalah imitasi atau percontohan sosial yang disajikan oleh
terapis. Terapis sebagai pribadi menjadi model yang penting bagi klien. Karena
klien sering memandang terapis sebagai orang yang patut diteladani, klien acap
kali meniru sikap-sikap, nilai-nilai, kepercayaan-kepercayaan dan tingkah laku
terapis. Jadi, terapis harus menyadari peranan penting yang dimainkannya dalam
proses identifikasi.
4.
Teknik-Teknik
Terapi Perilaku
Lesmana (dalam Lubis,
2011) membagi teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik
tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a.
Teknik-teknik Tingkah Laku Umum,
Teknik ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah:
1)
Skedul penguatan
adalah suatu teknik
pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang baru selesai dipelajari
dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan terus-menerus sampai tingkah
laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah terbentuk, frekuensi
penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat tertentu saja (tidak
setiap kali perilaku baru dilakukan). Shaping adalah teknik terapi yang
dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Terapis dapat
membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian
mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
2)
Ekstingsi adalah teknik terapi
berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini
didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu
apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak yang selalu
menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan bertindak tidak
memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan cara yang sama lagi
untuk mendapatkan keinginannya.
b.
Teknik-teknik Spesifik,
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
1)
Desentisasi Sistematik.
Teknik ini adalah
teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk
menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desentisasi
sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien diminta untuk
menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik di mana
klien tidak merasa cemas. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011) menyimpulkan bahwa
ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami kegagalan, yaitu:
(a)Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan karena komunikasi
terapis dan klien yang tidak efektif atau karena hambatan ekstrem yang dialami
klien.(b)Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, hal ini kemungkinan
disebabkan karena penanganan tingkatan yang keliru.(c) Klien tidak mampu
membayangkan
2)
Pelatihan Asertivitas.
Teknik ini mengajarkan
klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang
digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik ini dapat membantu
klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan
orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk kriteria klien sebagai
berikut: (a)Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung. (b)
Menunjukkan kesopanan secara berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya. (c) Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak. (d)Mengalami
kesulitan mengungkapkan afeksi dan respons positif lainnya. (e) Merasa tidak memiliki hak untuk memiliki
perasaan dan pikiran sendiri. Melalui teknik permainan peran, terapis akan
memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien
akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri di hadapan
orang lain.
3)
Time-Out. Merupakan teknik aversif
yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka
klien akan dipisahkan darireinforcement positif. Time-out akan lebih efektif
bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh
kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar
gelap selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut
akan dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan
tindakan yang salah tersebut.
4)
Implosion dan Flooding. Teknik
implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam
secara berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus sementara konsekuensi yang
menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan klien akan tereduksi atau
terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011). Terapiimplosion adalah teknik
yang menantang pasien untuk "menatap mimpi-mimpi buruknya." Ia
menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus digunakan untuk pasien gangguan
jiwa yang berada di rumah sakit, klien neurotik, klien psikotik, dan fobia.
Sementara itu menurut Corey (dalam Lubis, 2011) flooding merupakan teknik di
mana terjadi pemunculan stimulus yang menghasilkan kecemasan secara
berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement. Klien akan membayangkan situasi
dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien tersebut.Flooding bersifat
lebih ringan karena situasi yang menimbulkan kecemasan tidak menyebabkan
konsekuensi yang parah.
Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan
di atas, Corey (dalam Lubis, 2011) menambahkan beberapa teknik yang juga
diterapkan dalam terapi behavioristik. diantaranya, adalah:
1) Reinforcement
positif.
Adalah
teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah laku
yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman, persetujuan, pujian, bintang emas,
medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian reinforcement positif dilakukan
agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk.
2) Modelling.
Dalam
teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk
berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam
hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
3) Token
Economy.
Teknik
ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan lainnya tidak memberikan
kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan yang dapat
dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat ditukar
oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token economy
dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya, pada anak
pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan diberi satu logam.
Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak tersebut akan dibelikan sepeda.
Daftar
Pustaka
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group
Corey, G. (2009). Konseling dan psikoterapi. Bandung:
Refika Aditama.
Gerald Corey. (2007). Teori dan Praktek Konseling. Bandung: PT
Refika Aditama.
Frankl, Emil. (2004). On the theory and therapy of mental
disorders: an introduction to logotherapy and existential analysis.
Brunner-Routledge 270 Madison Avenue. New York.
Komalasari, Gantina.(2011).
Teori dan Teknik Konseling. Jakarta :
Indeks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar